Jendela Tegal

Warteg, Im Loving It

“It’s terrible to see inside warteg!” Kalimat itu yang akan saya katakan ketika saya menjadi orang Barat (mungkin Amerika, Canada, Inggris, atau “walondo”) ketika saya berkunjung ke salah satu warteg di Salemba. Anda adalah orang yang gila menurut saya jika rela mengeluarkan kocek sekitar kurang dari USD 1 untuk membeli sepiring nasi dengan lauk pauknya sementara ketika anda sedang makan anda dihadapkan pada dapur yang sangat buruk sanitasinya, piring dan gelas yang menumpuk kotor, ancaman hepatitis B, debu debu dari lalu lalang kendaraan di jalan raya yang mungkin mengandung virus, bakteri atau semacam gas karbon monooksida yang jika dihirup orang makan akan “kesenggruk”.
Kenyataan berbeda jauh, saya dilahirkan di Talang, Kabupaten Tegal bukan di Florida, Ontario atau di Leiden. Ya. Tahukah anda apa itu Kabupaten Tegal atau “Tegal” itu sendiri? Kota Warteg. Betapa tidak, jumlah warteg kini di Jakarta 34.725 tersebar di seluruh Jabodetabek. Hampir di setiap belokan, persimpangan, perempatan, hingga sudut sudut kota ada warung kecil bertuliskan “warteg” atau bahkan tanpa identitas.
Kini cobalah anda bayangkan, hilangkan semua pemukiman dan sisakan jumlah warteg tadi. Anda akan tetap melihat Jabodetabek itu di Citra Geo Eye akan terdapat banyak sekali titik lokasi warteg: mereka beraglomer, mereka terkait dengan bagaimana tempat itu menguntungkan mereka. Mereka telah merintis sejarah sejak lama, ketika pondok indah, pondok bambu, pondok kelapa, dan pondok pondok yang lain sedang dibangun oleh kuli kuli pada masa lampau, warteg mengiringi pembangunan “pondok” yang secara toponimi adalah “kampong, dusun, perumahan kecil”
Lalu cobalah berjalan kesana kemari di Jakarta, di hampir setiap arteri jalan, di hampir setiap keramaian terdapat busur kuning berbentuk huruf “M”. Tidak ada kejelekan di dalam restoran cepat saji ini. Semuanya tertata rapi, dengan pelayannya yang ramah dan murah sapa. Semua tempat terlihat bersih tanpa ancaman atau bebas tervaksinasi dari penyakit-penyakit semacam yang saya sebut tadi di atas.
Anda sedang melihat satu pembalikan dari segala jenis pembalikan. Bersih-kotor, Higienis-Tidak Higienis, Rapi-Amburadul, Mahal-Murahan, kelas atas-kelas bawah, mapan-marjinal, modal besar-modal kecil, dan bahkan ada yang tidak terima dengan pembalikan ini, mereka berdua sama-sama ingin dikenakan pajak karena hanya alasan inilah yang merupakan kesamaan kedua jenis penyedia makanan ini.
Tidak ada salahnya makan di Warteg lalu makan di Mc D, yang salah adalah ketika anda membawa makanan warteg masuk di Mc D. Anda pun tidak salah ketika membawa Makanan dari Mc D, KFC, Pizza Hut, Hoka Hoka Bento masuk ke Warteg, kemudian anda makan makanan itu di dalamnya dan hanya memesan es teh.
Anda tidak salah ketika memakai baju dengan huruf M dan ditambah dengan Mc Donald karena itu adalah brand fastfood dengan lebih dari 30.000 cabang di seluruh dunia dan mungkin jika Tuhan mengijinkan mereka bisa membuka cabang di Akherat saking larisnya.
Anda salah ketika memakai baju dengan huruf W yang disamakan dengan M lalu anda berjalan keluar rumah. Anda akan dianggap over pede, aneh, orang freak, dan ditertawakan. Anda tidak gentar karena tidak ada yang aneh pada Warteg. Warteg tidak punya pendiri, tidak punya kapan tanggal didirikan, tidak punya logo, tidak punya symbol, cukup punya sifat “menampung”, “mempersilakan”, dan “menggratiskan” bila perlu. Bahkan warteg tidak mempunyai identitas yang pantas “dikaoskan”. Warteg hanya tersenyum ngikik ketika akhirnya Mac dan adiknya, Dic justru meninggalkan Kroc karena agresifitasnya dalam berekspansi.
Semua pihak pada akhirnya harus punya cinta, Mc Donald Im Loving it, dan Warteg (50-an, pasca kemerdekaan. Lahir di Indonesia) juga harus dicintai karena merupakan kakak dari Mc D (Lahir di Indonesia 90-an, Blasteran)

No comments

Post a Comment