Jendela Tegal

Ketahanan Pangan, Tantangan Kini dan Masa Depan

Tantangan pembangunan ketahanan pangan ke depan menurut prediksi banyak kalangan akan semakin berat. Selama seratus hari masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II akan tetap dihadapkan pada berbagai permasalahan klasik. Mulai dari kelangkaan pupuk, anjloknya harga jual komoditas pangan saat panen raya, rusaknya sarana infrastruktur pertanian, hingga terbatasnya akses permodalan dan pemasaran petani. Tugas Departemen Pertanian ke depan akan semakin berat. Pekerjaan rumah terbesar yang harus segera diselesaikan adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan petani sampai level yang lebih “manusiawi”. 

Selama ini pemerintah (baca: Departemen Pertanian) telah berhasil meletakkan fondasi peningkatan produksi pangan secara meyakinkan. Namun prestasi peningkatan produksi tersebut tidak linier dengan peningkatan kesejahteraan petani. Secara diametral, politik pembangunan ketahanan pangan yang bias perkotaan (urban bias) telah melanggengkan rezim pangan murah. Gejolak sosial masyarakat perkotaan dan industri yang merupakan the vocal minority nyaris tak ada karena mulut-mulut mereka disuapi pangan yang dibeli dari petani dengan harga murah. Di sisi lain, para petani yang merupakan the silent majority, bermandikan keringat dan berkubang lumpur, menjadi tumbal perekonomian sebagai pengganjal inflasi.


Saat ini nilai tukar petani beberapa komoditas pertanian masih berada di bawah 100. Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan besaran yang sering digunakan sebagai indikator tingkat kesejahteraan petani. Angka ini merupakan rasio dari indek harga yang diterima petani dengan indeks harga yang harus dikeluarkan petani. Semakin besar angka NTP (lebih dari 100) artinya petani semakin sejahtera. Sebaliknya jika NTP kurang dari 100 artinya petani merugi alias tekor. 

Badan Pusat Statistik melaporkan, meskipun produksi beras tahun 2008 naik 5,46 persen dari tahun 2007, namun kenaikan itu tidak diikuti kenaikan NTP. Angka NTP komoditas padi bulan Juni 2008 sebesar 93,95. Angka itu lebih rendah 6,05 poin dibanding NTP pada bulan yang sama tahun 2007. Dengan bahasa lain, saat produksi beras naik 5,46 persen, tingkat kesejahteraan petani padi justru turun 6,05 poin.

Empat Arus Besar

Selain menghadapi berbagai persoalan klasik seperti telah penulis paparkan di depan, pembangunan pertanian dan ketahanan pangan juga menghadapi tantangan empat arus besar. Banyak pakar merasa pesimis terhadap kemampuan pemerintah Indonesia dalam mempertahankan prestasi swasembada beras, jagung, dan gula konsumsi, saat empat arus besar tersebut menerpa.

Keempat arus besar tersebut antara lain, pertama, fenomena ledakan kelahiran bayi (baby booming) yang mengakibatkan semakin berlipatnya jumlah penduduk. Kondisi ini membawa konsekuensi makin berlipatnya kebutuhan pangan yang harus disediakan pemerintah. Jumlah penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta orang, diprediksi menjadi 247,5 juta orang pada 2015, dan 273 juta orang pada 2025. Sebagai contoh misalnya penyediaan beras, jika tingkat konsumsi beras penduduk masih tetap 139,15 kg/kapita/tahun, maka produksi beras pada 2025 minimal 38,85 juta ton, atau meningkat 15% dari sekarang. Nominal yang sangat berat untuk mencapainya.

Jared Diamond dalam Collapse: How Societies Choose to Fail or Survie (2005), mengingatkan bahwa penyebab kehancuran suatu bangsa pada masa lalu antara lain karena degradasi lingkungan dan sumber daya alam yang parah, penyakit, perang antar negara, serta konflik antar elite politik yang terus menerus berebut kekuasaan. Kehancuran pada zaman ini dapat disebabkan oleh ledakan jumlah penduduk yang dibarengi dengan rendahnya kualitas dan akses terhadap layanan sosial dasar.

Kedua, terjadinya fenomena pemanasan global (global warming). Fenomena pemanasan global ini memicu terjadinya perubahan iklim dan berdampak langsung terhadap instabilitas pasokan bahan pangan. Perilaku iklim yang menyangkut intensitas dan distribusi hujan, saat ini sulit diprediksi. Sering terjadi kekeringan saat musim hujan, tetapi terjadi hujan lebat saat kemarau. Intensitas hujan ekstrem selama beberapa hari menjadi banjir, sebaliknya dalam periode lama tanpa hujan mengakibatkan kekeringan dan gagal panen.

Laporan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan terdapat 80% kemungkinan (high convidence), bahwa perubahan suhu rata-rata yang terjadi akhir-akhir ini telah berdampak pada banyak sistem fisik dan biologis alam. Kondisi itu akan berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan produksi pangan. 

Ketiga, kompetisi penggunaan lahan yang semakin ketat. Kondisi ini antara lain ditandai dengan masifnya konversi lahan pertanian subur. Sensus Pertanian Tahun 2003 mendapati bahwa antara tahun 1993-2003 terjadi peningkatan jumlah petani gurem yang menggarap lahan kurang dari 0,5 hektar sebanyak 2,9 juta rumah tangga petani, atau meningkat rata-rata 2,6%/tahun.

Badan Pertanahan Nasional juga melaporkan, hingga 2004 telah diajukan permohonan alih fungsi lahan seluas 3,099 juta hektar (BPN, 2007). Secara matematis, jika diasumsikan produktivitas lahan terkonversi itu rata-rata 4 ton/ha gabah kering giling (GKG), indeks panen dua kali per tahun, maka potensi produksi yang hilang dari tanah terkonversi itu lebih dari 24 juta ton GKG/tahun. Massifnya konversi lahan pertanian akan berdampak secara permanen terhadap produksi pangan nasional.

Keempat, mulai saat ini dan ke depan Indonesia makin terintegrasi dengan pasar global. Konsekuensinya, geliat perdagangan komoditas pangan global akan langsung mengimbas pasar domestik. Anomali meroketnya harga gula di tengah musim giling tebu di semua pabrik gula di tanah air beberapa bulan lalu menjadi contoh kasus paling mudah untuk menjelaskan tesis ini. Harga gula di pasar domestik mbedhal karena pengaruh situasi pasar global yang tengah mengalami turbulensi akibat defisitnya pasokan gula di pasar internasional. 

Mau tidak mau, suka tidak suka, semua pemangku kepentingan di republik ini harus bekerja esktra keras untuk mengantisipasi empat arus besar tersebut. Berbagai upaya yang harus segera ditempuh antara lain dengan membatasi angka kelahiran dengan jalan merevitalisasi program keluarga berencana (KB). Negeri ini pernah mendapatkan penghargaan internasional atas keberhasilan program KB karena komitmen politik yang luar biasa dari pemerintahan Orde Baru, namun komitmen itu hilang pasca reformasi.

Saat ini angka fertilitas nasional pada posisi 2,6 dengan pertumbuhan penduduk sebesar 1,3%/tahun. Pertumbuhan penduduk seimbang hanya dapat tercapai jika angkanya kurang dari 0,5%. Kondisi tersebut hanya bisa diwujudkan apabila angka fertilitas nasional berhasil diturunkan dari 2,6 menjadi 2,0.

Angka fertilitas ideal akan tercapai jika peserta KB mencakup 72% dari total Pasangan Usia Subur (PUS) usia 15–50 tahun. Selama lima tahun terakhir peserta KB mengalami stagnasi pada kisaran 61% dari total PUS, atau sekitar 29,8 juta akseptor. Kata kunci dari revitalisasi program KB adalah pendekatan siklus kehidupan (life cycle approach), berupa perbaikan sistem pelayanan kesehatan dan pendidikan sejak bayi dalam kandungan hingga meninggal (from the womb to the grave).

Menurut Perserikatan Bangsa Bangsa, jika dapat mengelola dengan baik pertumbuhan penduduk, kemungkinan besar Bangsa Indonesia dapat meraih jendela peluang (the window of opportunity) kependudukan. Jendela peluang ini merupakan bonus demografi yang hanya muncul sekali akibat perubahan struktur umur penduduk. Penurunan beban rasio ketergantungan (dependency ratio) sangat rendah 44 per 100 penduduk akan memberi bonus demografi berupa pembangunan ekonomi yang luar biasa karena sedikitnya tanggungan beban anak oleh angkatan yang bekerja.

Berkaitan dengan fenomena perubahan iklim, perlu disusun kebijakan yang komprehensif untuk menanggulanginya. Menurut IPCC, peluang untuk mengurangi gas rumah kaca masih terbuka melalui gaya hidup dan konsumsi. Kebijakan dan instrumen yang direkomendasikan harus mencakup semua sektor kehidupan, mulai dari sektor energi, transportasi, gedung, industri, pertanian, kehutanan, hingga manajemen limbah.

Selain itu inovasi baru di bidang teknologi pertanian sangat diperlukan untuk menjaga kelangsungan produksi pangan. Untuk itu perlu dilakukan pemberdayaan dan sekaligus perubahan orientasi di bidang riset teknologi pertanian. Jika sebelumnya pembangunan pertanian tanaman pangan terfokus pada upaya menghasilkan varietas unggul dengan daya hasil tinggi, sekarang harus diinovasikan varietas yang selain berproduksi tinggi juga mampu beradaptasi dengan baik pada tanah dan iklim suboptimal, utamanya kekeringan dan genangan tinggi.

Banyak pakar menilai bahwa kondisi krisis pangan dunia saat ini merupakan buah dari tindakan komunitas internasional yang mengabaikan sektor pertanian di negara-negara berkembang dalam jangka panjang. Statistik menunjukkan bantuan pertanian internasional tahun 1980 menempati porsi sebesar 17%, namun angka tersebut menurun drastis menjadi hanya 3% pada tahun 2006. Investasi riset pertanian negara-negara berkembang kurang dari 0,6% GDP, sedangkan di negara-negara Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) angkanya lebih dari 5% GDP.

Upaya berikutnya adalah mencegah terjadinya konversi lahan subur seminimal mungkin. Antara lain dengan pemberian insentif yang memadai bagi kepemilikan sawah berupa keringanan pajak serta jaminan pendapatan melalui penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) yang memadai. Selain itu juga diperlukan bantuan legalisasi tanah-tanah petani dalam bentuk sertifikasi massal guna kepastian hukum atas aset tanah petani sehingga dapat digunakan untuk akses modal ke bank. Upaya-upaya tersebut harus diikuti dengan upaya penegakan hukum dan upaya membangun persepsi dan komitmen yang sama diantara pemangku kepentingan. Undang- Undang tentang Perlindungan Lahan Pertanian serta produk hukum turunannya seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Instruksi Presiden, Peraturan Menteri, dan peraturan pelaksanaan lainnya perlu segera dikeluarkan agar dapat digunakan sebagai payung hukum
.
Untuk melindungi pasar domestik, saat ini sangat mendesak diciptakan instrumen yang mampu berperan sebagai isolator terhadap pasar global. Salah satu penyebab gonjang-ganjing harga gula beberapa waktu lalu karena tiadanya instrumen tersebut. Pasar domestik menjadi sangat volatile saat terjadi turbulensi di pasar global. Sebagai akhir tulisan ini ada baiknya penulis kutip penegasan Dirjen FAO, Jacques Diouf. “Krisis pangan yang melanda dunia saat ini bukanlah tragedi Yunani, dimana nasib ditentukan oleh Dewa karena manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Dunia memiliki kemampuan untuk memengaruhi masa depan”. Nah, di sinilah komitmen kita sedang diuji. (Toto Subandriyo untuk Jurnal Idea Kab. Tegal)

No comments

Post a Comment