Jendela Tegal

Mencari Tegal yang Hilang

Ini tulisan saya jaman mahasiswa dulu waktu tahun 2011 atau 2012 (lupa). Kenang-kenangan jaman masih muda. Sudah selesai dan menjadi referensi pencarian berikutnya. Selamat menikmati…
1. Dari sebuah Identitas hingga Sistem Pengaburan Sejarah
Tegal, berdasarkan hasil pengamatan saya bukan berasal dari bahasa Portugis tetegualtetegulltetegalkarena tidak ada arti dan makna untuk bahasa Portugis sebagaimana klaim keliru Tome Pires[1], Tegal dalam banyak versi mengacu kepada tegalan (ladang) atau tetegil atau nama sebuah desa yang pada mulanya adalah bagian dari Kabupaten Pemalang yang setia kepada trah Pajang. Nama Tegal hanya ada satu di dunia, di Indonesia, pada koordinat 108°57’6 sd 109°21’30 BT dan 6°50’41″ sd 7°15 15’30″ LS.
Desa itu berupa semak dan hutan yang didiami oleh santri di sekitar kompleks makam Mbah Panggung. Datanglah pembaharu yang revolusioner ketika seorang ulama dan pemimpin besar bernama Ki Gede Sebayu sedang menjalani pengasingan batin luar biasa atas konflik-konflik kekuasaan yang terjadi di Mataram. Konflik yang panjang itu telah merenggut nyawa banyak pihak: Sutawijaya (Panembahan Senopati), Joko Umboro (Pangeran Purbaya), Sunan Amangkurat I hingga tahun 1677[2]. Peperangan dan konflik yang panjang itu banyak mengaburkan sejarah dan identitas kita. Ditambah lagi dengan penjajahan Belanda, Jepang, perpecahan ras, dan rezim orde baru, dan media saat ini yang hobi dalam memutar balik fakta.
1.1. Peradaban terbaik: “Bottom Up” yang Artinya Bekerja Bersama Masyarakat
Ki Gede Sebayu melakukan hijrah dan uzlah dari hingar bingar dunia politik top down menuju dunia kemasyarakatan bottom up. Ki Gede Sebayu kemudian merangkul dan mengajak masyarakat secara aspiratif untuk mbabad semak dan hutan yang luas itu menjadi ladang dan sawah daripada mengurusi konflik dan bentrok yang terjadi pada saat itu. Selain ilmu kejiwaan manusia, beliau sangat mengerti ilmu iklim, teknik, dan prediksi pertanian sehingga memutuskan mengelola DAS Kaligung sebagai awal peradaban baru dengan membuat bendungan di desa Danawari dan membuahkan keberhasilan pertanian di Tegal.  Ia diangkat oleh saudaranya sesama ulama dan pemimpin, Pangeran Benawa yang merupakan Raja Pajang menjadi demung atau sesepuh desa pada malam Jum’at Kliwon, 11 Safar 588H atau bertepatan 12 April 1580. Malam Jum’at Kliwon menjadi malam yang hingga hari ini sangat sakral dan religius di Tegal untuk transedensi vertikal kepada Allah: slametan, syukuran, yasinan, dan pengajian sebagai bentuk rasa syukur dan penyucian diri[3] ada versi lain yang menyebutkan syukuran ini terjadi pada tanggal 18 Mei 1601 Masehi atau tanggal 12 Robiul Awal 1010 Hijriyah atau 1524 Caka.
1.2. Sejarah Fisik Wilayah Tegal: Prospek SDA tersembunyi
Ki Gede Sebayu sangat memahami pranotomongso[4] wilayah Tegal yang memiliki unifikasi tanah, suhu, dan curah hujan yang sangat potensial untuk tanaman keras perladangan, primer, dan palawija. Ilmu Pranotomongso ini lalu dikembangkan oleh para ahli iklim seperti Vladimir Koppen dan Huntington menjadi klimatologi dan disalahgunakan dalam pendekatan determinisme iklim sebagai bentuk ateologis:“iklim adalah faktor mutlak penentu kehidupan manusia”
Tegal memiliki suhu rata-rata 26-27° C dengan curah hujan 120-140 mm pertahun5 dan masuk kategori iklim tropis karena berada pada garis lintang rendah. Hujan di Tegal dapat terjadi karena faktor global angin Muson Barat dari Samudera Hindia pada bulan Oktober-April. Musim kering dari April-Oktober. Pada tahun 2011 ini Tegal terkena fenomena La Nina yang terjadi 3-7 tahun sekali dan mengakibatkan musim hujan berkepanjangan sebulan hingga beberapa bulan. Hujan juga dapat terjadi karena siklus hidrologi lokal, laut Jawa yang kemudian membawa awan nimbus ke arah gunung Slamet.
Tegal masuk kelas A.m. dalam klasifikasi Koppen yang berarti iklim hutan musim. Hutannya bersifat homogen seperti hutan pinus yang terdapat di kaki gunung Slamet sebagai fungsi hidrologis pengikat air dan hutan jati yang memiliki fungsi ekonomis di alas Margasari. Dengan ketinggian 0-900 mdpl mencakup morfologi yang lengkap: pantai, dataran rendah, dan dataran tinggi. Belanda secara cermat dalam penjajahannya di Tegal membaca sejarah teknis pertanian Ki Gede Sebayu sehingga mereka membuat masterplan waduk Cacaban untuk kepentingan mereka melanjutkan kegilaan tanam paksa Van den Bosch (1890)[5] yang sebenarnya telah usai karena mereka sangat membaca prospek fisik wilayah Tegal yang sangat luar biasa dengan hasil pertanian padi, palawija, holtikultura. Hasil perkebunan seperti tebu, kelapa, kapuk, cengkeh, Vanili, lada, dan teh beserta tanaman hias.
Presiden Soekarno pada saat pasca kemerdekaan telah membaca situasi dari riset Cacaban yang menguntungkan ini. Ini adalah wilayah yang bisa sangat potensial bisa menerapkan konsep “Berdikari” Presiden Soekarno. Masterplannya dibuat oleh Belanda tahun 1914 dan draftnya tahun 1930. Kemudian ia merealisasikannya dan diresmikan tahun 1958 dengan asumsi saya: Soekarno mengharapkan sesuatu yang besar dari sejarah peradaban kita. Adalah keliru jika kita, dengan sejarah panjang potensi pertanian hanya menargetkan untuk swasembada karena ranah swasembada hanya ranah kebutuhan, tataran supply demand. Sangat beda konsep swasembada dengan berdikari. Konsep berdikari akan sampai kepada penciptaan dan inovasi-inovasi baru dalam dunia pertanian.
1.2.  Mimpi Buruk Kita, Wong Tegal
Belum sempat membangun dan menerapkan wacana bioteknologi, transplantasi gen, rekayasa DNA, nano teknologi, sustainable development, dan wacana mutakhir pertanian, tanah kita sudah dirampas oleh  hak-hak tanah oleh Belanda melalui campur tangan hukum tanah dan kekuasaan, antek-antekBelanda yang menikmati posisi mereka, dan oleh rezim orde baru. Belum rampung dipecundangi oleh mereka, di masa sekarang tanah-tanah kemudian dibeli oleh banyak juragan tanah yang sifatnya oportunis. Sehingga pertanian kita hanya menyisakan kemelaratan buruh tani dan konflik tanah.
Tanah di muka bumi adalah tempat pelaksanaan semua kegiatan manusia sekaligus pula menjadi tempat pembatasnya termasuk kegiatan pertanian. Konflik tanah di permukaan bumi adalah pertarungan antara idealisme akademik dan pragmatisme pengusaha. Kearifan regulatif birokrasilah yang diharapkan bisa menyelesaikan konflik tersebut. Banyak penyelesaian konflik ini dilandasi hanya pada perhitungan-perhitungan pada kertas yang tidak berdasarkan kenyataan lapang. Hal ini hanya akan mengakibatkan kekecewaan[6].
Kekecewaan itu terakumulasi sebagai dendam wong cilik. Pada saat pasca kemerdekaan. Mereka yang sakit hati menuntut balas kepada antek-antek Belanda yang kejam dan telah melukai hati mereka dengan membunuh mereka dengan bambu runcing. Peristiwa ini merembet menjadi apa yang disebut pemberontakan Tiga Daerah yang hingga saat ini hanya asumsi-asumsi dan penafsiran-penafsiran. Tidak ada fakta atau penulisan secara rinci yang pernah dilakukan karena sangat tabu di masa orde baru. Wawancara mendalam dengan salah satu saksi sejarah mengatakan ada seorang polisi (antekBelanda) di desa Pangkah yang merampas pedati seorang rakyat jelata, kemudian polisi itu menjadi sasaran pembunuhan peristiwa yang disebut dulu keadilan rakyat[7]
2.1.Hikmah dari Tidak Memiliki Tanah Pertanian
Dengan kesabaran dan semangat pantang menyerah, rakyat Tegal khususnya di wilayah Kabupaten yang miskin dan tidak lagi bercocok tanam dan cinta damai kemudian mencari mata pencaharian lain. Menjadi pengrajin logam seperti besi, emas, kuningan, logam, gunting, suku cadang sepeda. Hingga terbangunlah saat ini apa yang dinamakan Jepangnya Indonesia. Begitu makmur Kabupaten Tegal waktu itu dengan dunia industri dan logam. Meskipun mereka punya kendala terbesar yaitu kendala pemasaran, tidak adanya koperasi yang “benar-benar koperasi” untuk mereka supaya bersatu.
Pemasaran mereka di Jakarta dan kota-kota besar terkendala oleh mafia-mafia dan cukong dagang logam tersebut yang melakukan penekanan harga. Dampaknya hingga buruh kecil harus dipotong upahnya oleh bosnya sehingga salah seorang teman saya, pernah bekerja hanya dengan gaji menjadi kuli logam lima ribu rupiah per hari. Belum selesai masalah dan derita industri, krisis ekonomi tahun 1998 telah mengubur semua mimpi dan harapan. Hikmah dari krisis ini kemudian para pelaku logam di Tegal menjadi lebih kuat dan berkomitmen untuk melakukan kerjasama serta riset. Salah seorang teman saya, yang juga kuli di sebuah CV di Talang, menyebut industri logam di Tegal “Mati Mati Urip[8]artinya dibilang mati ya hidup, dibilang hidup ya biasa-biasa saja.
Dunia pesisir yang tidak mengenal pertanian dari sejak dulu sangat bergantung pada laut. Mereka bergantung terhadap musim. Jika musim badai mereka tidak melaut. Hingga hari ini tidak ada bedanya derita nelayan atau petani kecil yang mburuh. Mereka terjerat hutang dengan rentenir atau Bank. Nelayan terjerat hutang karena faktor musim, kebutuhan yang semakin meningkat, dan modal untuk melaut. Petani juga mengalami hal yang klise: utang bibit, utang pupuk, utang bosnya yang memiliki tanah untuk digarap.
Pedagang tradisional saat ini juga sangat miris dengan hadirnya Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan no. 53 tahun 2008 yang belum diaplikasikan secara nyata. Peraturan ini terkait dengan penataan ruang pasar agar tidak terjadinya persaingan tidak sehat antara toko modern, pusat perbelanjaan, atau ritel semacam Alfamart dan Indomart. Pemerintah Propinsi Yogyakarta sangat patut ditiru. Mereka telah menandatangani kontrak dengan rakyat kecil untuk tidak mendirikan semacam ritel kecil itu di wilayah pinggiran Yogyakarta.
Sebagian yang tidak menerima pertanian, nelayan, logam, dan perdagangan sebagai mata pencaharian mereka lebih memilih untuk merantau. Ide untuk merantau ini terjadi pasca kemerdekaan 1945. Euforia Jakarta menjadi tempat elit dan sumber uang telah meracuni para urban, terutama bagi mereka yang sudah tidak punya apa-apa lagi. Lahirlah fenomena warteg, ketoprak, nasi goreng, dan berbagai kuliner Tegal disadari atau disadari telah mewarnai Jakarta Raya. Hingga 2011 ini lebih dari 29.000 warteg tercatat di Jabodetabek, belum yang tidak terdaftar pada paguyuban warteg. Warteg tidak kehilangan masalah. Warteg direncanakan dicekek oleh Pemda dan Dinas Pajak Propinsi DKI. Untungnya IKBT (Ikatan Keluarga Besar Tegal) telah melakukan mediasi dengan Gubernur Fauzi Bowo sehingga wacana ini tidak jadi diberlakukan.
Industri kuliner di Tegal sangat kuat dan tahan gencetan ekonomi. Soto, sate, kupat glabed, dan ratusan makanan serta jajanan khas bertebaran di setiap sudut tempat di Tegal. Berbagai macam makanan khas Tegal yang telah membumi menjadi referensi bagi penduduk Tegal untuk melakukan wisata kuliner di  saat dunia pariwisata Tegal belum dibangun secara maksimal. Guci, Purin, dan Waduk Cacaban adalah tempat yang sangat monoton. Apalagi PAI. Belum saya mendengar wacana pemerintah untuk mengekspos dan membangun tempat seperti di Cawitali, tempat purbakala di Semedo, atau wisata yang sifatnya konservasi dengan kondisi alam Tegal yang begitu kaya.
2.2.Kesadaran Pendidikan yang Rendah dan Pergeserannya
Kini penduduk Tegal sadar bahwa untuk membangun pertanian, perkebunan, perikanan, industri, wisata, dan sumber daya penduduk maka jalan yang harus ditempuh adalah pendidikan. Tegal adalah sebuah wilayah yang terkenal menomorduakan pendidikan. Baik pendidikan formal umum maupun informal seperti pesantren. Beberapa tahun yang lalu atau saya kira masih hingga saat ini, ukuran sukses orang Tegal bukanlah pendidikan tapi adalah punya rumah, mobil, berangkat haji, dan orderan lancar[9]
 Ini tidak aneh, mereka seperti itu karena memandang bahwa dunia pendidikan saat ini hanya menghasilkan pengangguran-pengangguran baru. Banyak yang memiliki pendapat di Tegal, anda tidak usah bersekolah tidak apa, tetapi mau ulet dan berusaha. Itu sudah cukup. Grafik di samping menunjukan betapa banyak lulusan SD yang tidak melanjutkan ke SMP. Begitu pula lulusan SMP yang melanjutkan ke SMA. Ini kasus tahun 2008 dan hanya berjarak 3 tahun dari sekarang.
Dunia pendidikan adalah dunia kunci masa depan. Terjadi pergeseran nilai di Tegal dengan terkikisnya hal di atas. Semakin banyaknya jumlah yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi di suatu wilayah adalah salah satu indikator majunya pendidikan di wilayah tersebut. Studi kasus saya lakukan di Sintesa (Satu Ikatan Mahasiswa Tegal Bersaudara) yang merupakan paguyuban mahasiswa Tegal di Universitas Indonesia. Hingga saat ini tercatat 202 orang dari Tegal menjadi anggota Sintesa dan berkuliah di UI dengan berbagai lintas disiplin ilmu.
Riset persepsi sederhana saya dengan diskusi anggota Sintesa, banyak aspirasi pendidikan yang tidak tertampung. Pada Propinsi Riau dan banyak Kabupaten di luar Jawa yang menganggarkan dana untuk pendidikan tinggi pemuda-pemuda mereka untuk kemudian pulang dan menjadi aparatur pemerintahan daerah sebagaimana jargon “Bali Ndeso Mbangun Ndeso”. Saya belum menemukan pemerintah Tegal dan sebagian besar Kabupaten di Jawa Tengah melakukan regenerasi dan pembinaan semacam itu. Saya berharap di masa yang akan datang hal ini akan terealisasi untuk mengatasi sifat orang Tegal yang migran, ilang-ilangan, dan tidak berkontribusi apa-apa untuk daerahnya.
2.3. Penderitaan Permanenkah?
Kita telah menderita cukup lama dari empat abad yang lalu, maka gara-gara penderitaan yang sangat lama dan permanen, maka kita menjadi apa yang Cak Nun[10] bilang: “13 Ciri Manusia Indonesia” yang kemudian saya menerapkannya ke Masyarakat Tegal:
  1. Tidak perduli kepada kehancuran
  2. Tidak terharu hatinya oleh persaudaraan dan sama sekali tidak mengandalkan kebersamaan
  3. Lebih cenderung memilih problem dibandingkan penyelesaian, bahkan problem menjadi komoditas primer bagi banyak lembaga
  4. Berani menomorduakan Tuhan dalam pola pikir dan perilaku, padahal saat-saat ini adalah saat dimana bangsa ini tergantung pada kemurahan dan pertolongan Tuhan
  5. Bergairah terhadap bentrokan dan kurang minat terhadap perdamaian
  6. Lebih mampu untuk menang daripada kalah
  7. Sangat ahli dalam tidak berpikir sendiri
  8. Lebih menyukai mitos dan prasangka dibanding kenyataan. Itu berlaku tidak hanya di warung-warung dan lembaran utama dan layar-layar teknologi informasi
  9. Lebih menghormati bangsa lain terhadap bangsa sendiri
  10. Meremehkan kualitas nilai, kreativitas, prestasi substansial atau kemuliaan hidup. Peremehan ini bukan berlaku hanya sebagai sifat personal tapi sudah sampai kepada penindasan hukum dan politik terhadap para kreator, penemu, pencapai prestasi, inovasi, dan invensi
  11. Gemar menyembah Tuhan-Tuhanan, sangat kagum kepada berhala, tetapi hampir selalu salah memilih berhala
  12. Selalu siap menyogok dengan uang atau harta benda demi memperoleh penderitaan
  13. Aktualisasi perilaku budaya Agama sangat maju, penuh gebyar, tapi pola keagamaannya mundur dua abad
Maka ada solusi yang paling bisa kita lakukan. Bangunlah dari mimpi buruk ini. Belajarlah banyak hal sehingga kita tahu identitas kita. Kita, Tegal adalah pemilik peradaban maju yang telah dibangun Ki Gede Sebayu. Kita, orang Tegal lebih suka membangun dan bermasyarakat daripada bentrok. Kita, manusia-manusia Tegal adalah adalah manusia yang “dicetak” untuk tahan gencetan waktu dan penderitaan. Pendidikan kita adalah manusia dengan kapasitas olimpiade. Hitunglah berapa banyak siswa dari Tegal yang ikut pendidikan olimpiade Nasional tiap tahunnya. Pendidikan santri kita adalah pendidikan santri Internasional.
Kita adalah yang melahirkan angkatan laut. Mereka punya tanjung periuk, tanjung perak, tanjung emas, tanjung kita adalah Berlian. Kita pandai mengolah masakan menjadi apa saja yang kita mau. Betapa kayanya identitas kita, wong Tegal! Kitalah yang akan menggandeng saudara-saudara kita di Pemalang, Brebes, dan seluruh tanah Jawa Tengah dalam kemakmuran kalau kita tahu kita siapa.
2.4. Di manakah Banteng Loreng Binoncengan itu?
Tidak pernah ada riset mendalam mengenai identitas yang telah diwariskan oleh simbol Tegal pra Belanda. Seekor banteng berwarna loreng yang dinaiki oleh anak kecil. Brebes memiliki simbol gong pecah tinabuh dan Pemalang adalah watang putung (batang/pancingan putus). Kedua simbol Pemalang dan Brebes itu adalah tanda ketidakberuntungan. Tegal lebih bangga dengan baharinya padahal itu adalah simbol warisan Belanda. Tiga kapal dengan bendera tiga warna (warna Belanda).
Maka keyakinan saya, di masa depan anak kecil itulah yang akan menggembalakan banteng (sapi jantan) dan memperbaiki gong pecah lalu menabuhnya kembali serta ia yang akan membenahi watang putung atau bahkan menggantinya menjadi watang yang lebih baru untuk memancing masa depan. Masa depan Jawa dan Indonesia.
2.5. Membaca Isu Lintas Sektor Terkini
Dengan semakin kompleksnya masalah yang dihadapi dan lingkaran-lingkaran setan pembangunan serta kemiskinan, pendekatan terpadu pun sudah tidak relevan lagi apalagi pendekatan sektoral. Pendekatan yang harus dilakukan adalah pendekatan holistik yang menyelesaikan permasalahan kompleks wilayah.
Kita dibuat pangling dengan masalah birokrasi, perencanaan pembangunan, rencana tata ruang wilayah yang tak kunjung selesai, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, transportasi, pertanian, industri, kemiskinan dan pengangguran, AFT (Asean Free Trade) dan perdagangan bebas dengan China yang ujung-ujungnya menyengsarakan industri lokal karena belum mampu beradaptasi, otonomi daerah, kejahatan, isu teknologi IT yang semakin berkembang hingga isu yang paling membahayakan dan digaungkan saat ini yaitu Global Warming dan terorisme.
Itu karena kita menganggap masalah tersebut adalah masalah yang parsial dan bukan masalah yang merupakan rantai dan saling berhubungan. Tugas kita adalah memutus “lingkaran setan pembangunan” dan “lingkaran setan kemiskinan” dari isu-isu di atas. London, Kuala Lumpur, dan sekarang Jakarta mengatasi masalah kompleks wilayah tersebut dengan jalan membuat konsep “The Greater” sehingga proses perencanaan pembangunan tidak dilakukan secara sporadis dan membabi buta. Contoh kecilnya Minggu kemarin jalan dibongkar untuk pemasangan pipa PDAM, Minggu ini dibongkar oleh Telkom, Minggu depan dibongkar oleh PLN, dan sebulan berikutnya jalan dibongkar untuk pemasangan distribusi pipa gas dan kabel mikrotik. Betapa tidak adanya koordinasi.
2.5. Urgensi Bappeda sebagai kunci pembangunan daerah
Bapedda memegang peranan penting untuk melakukan perencanaan wilayah. Dalam kaitannya dengan konsepsi pembangunan, Prof. I Made Sandy seorang ahli Geografi mengatakan. Ada beberapa dalil yang harus dipegang yaitu:
  1. Setiap konsepsi pembangunan adalah pemikiran yang harus bisa diwujudkan bukan sekedar latihan akademis
  2. Perwujudan suatu konsep pembangunan haruslah benar-benar menjamin peningkatan kesejahteraan rakyat sebesar-besarnya
  3. Kita membangun untuk keperluan masyarakat yang hidup sekarang, bukan 20 tahun – 25 tahun yang akan datang, meskipun konstruksi proyek memperhitungkan daya guna selama mungkin
  4. Konsepsi pembangunan yang tidak bisa diwujudkan, lebih banyak menimbulkan kesusahan, keresahan, dan kerugian bagi masyarakat adalah konsepsi pembangunan yang salah
Untuk bisa mewujudkan konsep di atas perlu memadukan empat unsur pembangunan:
  1. Sistem pembangunan nasional
  2. Sistem pembangunan pemerintahan
  3. Sistem pendanaan pembangunan
  4. Sistem pertahanan nasional
Ini dikarenakan karena pembangunan adalah pekerjaan yang besar dan tidak akan ada selesainya. Bappeda bertugas membuat rencana-rencana yang mengacu terhadap beberapa konsep di atas dengan memahami konsep rencana.
Rencana adalah kehendak, keinginan, atau kebijaksanaan. Rencana induk suatu kota adalah kebijakan dan kegiatan yang mencakup jangka waktu yang panjang yang menjadi induk daripada rencana jangka pendek.
Rencana induk bukanlah peta yang menggambarkan zonasi penggunaan tanah dalam waktu yang panjang akan tetapi memperhatikan ketiga unsur ini:
  1. Tujuan atau sasaran
  2. Arah
  3. Titik Awal
The Greater Tegal akan menjadi solusi titik awal masa depan untuk mencapai tujuan atau sasaran pembangunan jika arahnya tepat.
3. The Greater Tegal: Titik Awal dari Persatuan Budaya non Politis
Istilah The Greater[11] muncul untuk istilah politik London, Singapura, kemudian diwacanakan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk Jakarta. The Greater Jakarta akan meliputi wilayah Barat hingga Cirebon. Tetapi ketiga fenomena tersebut berlatar belakang politis yang sebenarnya pemaksaan yang disebut lebensraum wilayah, living space. Pencaplokan dari kepentingan London, Kuala Lumpur, dan Jakarta untuk mengembangkan sayap kapitalnya. Tetapi bagaimanapun kebijakan ini harus didukung karena semua berdasarkan hukum Negara.
Tegal tidak akan menjadi daerah yang maju tanpa menggandeng saudaranya dengan persamaan sejarah, bahasa, dan budaya: Brebes dan Pemalang. Hal ini karena ada fenomena yang disebut interdependensi manusia, semacam jaringan sosial yang telah berakar mendalam. The Greater Tegal dalam benak saya akan membangun infrastruktur pelabuhan ikan dan niaga Internasional, Bandara, taman dan pusat-pusat budaya Tegal serta pubic space yang lebih luas untuk pengembangan seni dan budaya, Pemalang, Brebes. Pusat Industri kecil seperti di solo: Solo Industrial Park. Pertanian dan perikanan yang kompak. Hingga bisa menjadi sebuah daerah luas yang unik dan berkesinambungan. Keempat pemerintah daerah bekerjasama dengan koordinasi dan kepemimpinan yang tepat. Semua itu untuk mencapai goal pembangunan Nasional yang pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas Nasional.
Nama adalah doa. Tegal adalah Tegalan. Maka inilah ladang yang siap ditanami dengan apapun. Pembangunan, perencanaan strategis, investasi jangka panjang, infrastruktur besar-besaran, industri, pertanian kontemporer. Tetapi kita harus ingat bahwasanya Ki Gede Sebayu telah mengajarkan kepada kita wong Tegal untuk tidak mencintai hal itu, kita mencintai kebersamaan, kemasyarakatan, dan Tuhan.

The Greater Tegal
Footnote:
[1] “Suma Oriental que trata do Mar Roxo até aos Chins” (Ikhtisar Wilayah Timur, dari Laut Merah hingga Negeri Cina) terbit tahun 1512-1515
[2] “Sejarah Raja-raja di Jawa” oleh Dr. Purwadi, M.Hum tahun 2007
[3] Kaum di Tegal didominasi oleh kaum santri dan kaum piyayi abangan. Era modernisasi telah membuat kelas struktur baru yang keluar dari dua nilai tersebut
[4] Ilmu Iklim pada masa Jawa kuno
5 Data BMKG untuk “Tegal Dalam Angka” tahun 2006-2008
6 Pramudya Ananta Toer, dalam bukunya mengenai Kartini. Dalam Bab berakhirnya perang Jawa DIponegoro dan sistem tanam paksa oleh Van Den Bosch
[6] Prof. I Made Sandy dalam tulisannya mengenai “Sumberdaya Tanah di Indonesia”
[7] Wawancara dilakukan penulis pada tanggal 28 April 2011
[8] Wawancara dilakukan pada tanggal 29 April 2011
[9] Dijelaskan oleh Prof. Abu Suud dalam bukunya: “Semangat Orang Tegal” terbit tahun 2003
[10] Dalam bukunya “Demokrasi La Royba Fiih” tahun 2009
[11] Prof. Joseph F. Zimmerman dalam tulisannya THE GREATER LONDON AUTHORITY: DEVOLUTION OR ADMINISTRATIVE DECENTRALIZATION?” yang dipresentasikan di  Universitas Philadelphia, Pennsylvania, 28 Agustus 2003.

No comments

Post a Comment