Jendela Tegal

Gari Siji Dalam Budaya Moci


Tegal identik dengan "medhang". Wetan Jogjanya itu "wedhangan" dalam bahasa Jakartanya "ngeteh". Medang, wedhangan, ngeteh ini sebetulnya hanya aktivitas sehari-hari rumah tangga sampai kemudian muncul budaya kongkow. Di Jogja budaya "wedhangan" ini menjadi angkringan secara jual beli yang mengakomodasi kumpul-kumpul, santai, ngobrol dengan teman/jakwir, saudara, pacar, dst. Dalam budaya barat semacam teabar atau kafe. Konon kafe sendiri berasal dari Sultan Mohamed IV berkunjung ke Paris dan meninggalkan "biji misterius" dan berkembang di sana menjadi sebuah aktivitas minum + perdagangan. Terus meluas ke semua penjuru di Eropa.

Antropolog dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Pande Made Kutanegara, mengatakan, jauh sebelum tanaman teh datang ke Indonesia sekitar abad ke-17, Tegal sudah memiliki budaya minum teh yang berakar dari China. Konon pada awal konsumsi teh di Tegal, tehnya didatangkan langsung dari China. Hingga muncul penjajahan dan tanam paksa sehingga buruh hanya ditinggal batang-batang teh dan sisa-sisa pengirimannya (res-resan). ”Kondisi itu membentuk selera konsumsi orang Tegal terhadap teh. Sampai sekarang mereka terbiasa minum teh yang sepet dan pekat,” kata Pande, yang pernah melakukan penelitian tentang teh. Rasa sepet itu, menurut Pande, berasal dari batang teh yang ikut digiling bersama daun teh sehingga menghasilkan teh berkualitas rendah.

Tetapi satu yang perlu digali lagi dari Pande Made adalah apakah dahulu di Tegal ada perkebunan teh? Apakah masyarakatnya ikut dalam tanam paksa? Apakah berada di tempat yang tinggi seperti Guci? Cerih? Kalau dahulu ada, berarti tanam paksa memang membentuk selera dan budaya "rasa" teh Tegal. Kaligua, kebun teh yang dahulu menjadi markas tentara Jepang itu bukan di Tegal melainkan di Bumiayu. Lebih dulu mana cita rasa teh Tegal atau Industri yang kemudian membentuk cita rasa teh Tegal?

Jepang berbudaya dalam teh ratusan tahun sehingga mengerti detail bagaimana sebuah teh dinamakan berdasar prosesnya. Yang dimaksud Pande teh kualitas tersebut adalah adalah teh hijau Kukicha, yakni teh yang dibuat asal-asalan dan iseng dengan mencampurkan sekalian batang-batangnya. Dalam perjalanan sejarah Teh yang bermula di China, lalu ke Jepang. Eropa mendengar ada barang bagus dan kemudian berminat. Mungkin karena Indonesia terjajah maka Hindia Belanda dijadikan alat produksinya dan buruh-buruh pun mendapat teh kualitas buruk.

Tetapi positifnya, sebagai bangsa besar, kita mampu mengolah penderitaan menjadi kebahagiaan. Teh yang buruk-buruk, rusak itu kita olah menjadi teh enak dicampur dengan bunga jati diri bangsa Indonesia: melati juga bunga gambir dan gula batu kemudian justru menjadi cita rasa legendaris. Seperti Jazz yang sekarang mewah tapi sebetulnya lahir dari derita kaum buruh. Orang Tegal memadukan cita rasa indah itu bersama poci tanah liat. Justru karena berbahan tanah kemudian cita rasa teh ini muncul meluap. Hingga saya sendiri pernah "terpaksa" menelusuri deretan  warung-warung Banjaran-Tembok mencari poci-poci seken/bekas karena disuruh teman mencarikan itu. Konon poci yang sudah digunakan bertahun-tahun itu punya rasa pekat yang dicari banyak orang.

Kembali fokus ke judul yang sebenarnya saya posisikan sekunder dari bagian besar budaya teh beserta komersialisasinya. "Gari siji" lahir dari aktivitas moci dan memakan jajan, dimana saat waktu medang sudah hampir selesai dan jajannya tinggal satu di bungkusan atau di piring. Jajan itu bisa berupa mendoan, gorengan, buah atau apapun yang menjadi teman ngeteh. Moci dan silaturrohim banyak menghasilkan keluhuran, kebersamaan, dan hidup menjadi rileks dari problema-problema ruwet.

Gari siji artinya dalam isi aktivitas medhang adalah rasa tidak enak ketika akan makan jajan pada saat medhang dan tinggal hanya satu jajan di piring. Bermakna sebuah praktek dari mementingkan teman, orang lain supaya mengambilnya dan menghabiskannya. Tetapi karena semua yang duduk legowo berpikir seperti itu, maka terkadang justru jajan ini tidak habis. Atau ada yang nekat berkata: "Biasa, Wong Jawa. Gari Siji! Mubadir, pangan ah!" sambil tangannya nylonong dan tertawa (Budi Mulyawan)

No comments

Post a Comment