Jendela Tegal

Mampir Cacaban

Nggak kangen Cacaban lur? Pertama saya ke sana adalah ketika diajak bapak jaman SD. Kalau nggak salah pas Soeharto belum lengser yaitu sekitar tahun 1995. Saat itu para pedagangnya panjang membentang menggelar lapak di tanggul-tanggulnya. Terik matahari sangat panas membakar. Saya masih ingat ada teman bapak yang bernama Pak Umar, satpam Cacaban dan kami makan kacang rebus, ada pisang juga di warung-warung sekitar waduk. Mulanya Cacaban adalah irigasi kemudian berubah menjadi ramai karena dikunjungi orang. Dari sinilah sebenarnya pariwisata secara asli dimulai. Ketika sesungguhnya orang-orang pada sebuah ruang kekurangan ruang publik untuk lepas dari ruang-ruang resminya.

Pagi itu, setelah shubuh saya bergegas ke Pangkah untuk nyamper sahabat saya Mas Aji untuk menuju ke Cacaban dan ban motor saya bocor di Slawi saat hari masih gelap. Tentu saja hari menjadi siang dan kami gagal melihat sunrisenya. Nggak kapok kemudian saya berangkat lain hari bersama Bamz dari Kaligayam, kami pun meluncur tanpa Mas Aji (biar nggak telat) untuk melihat sunrise. Sayangnya agak siang juga karena membeli udang dulu di pasar bawang Adiwerna untuk sekalian memancing di tengah waduknya. Jreng. Inilah penampakan sunrise di Cacaban:

"Sunrise in Cacaban, Kami Harus Berangkat Setelah Tepat Sholat Shubuh Menuju Kemari"
"Sudut Lain Sunrise di Pulau Gendu, Rupanya agak Kesiangan"
Cacaban berdiri di 3 Kecamatan: Kedungbanteng, Jatinegara , dan Pangkah di sebagian desa dari Kecamatan itu. Luas waduk ini sendiri adalah 928,7 ha dan berisi air sebanyak 90 juta m³. Waduk ini diresmikan langsung oleh presiden Soekarno tahun 1952. Kalau diingat saya pernah membaca sekilas pada saat pidatonya Presiden Soekarno menyinggung mengenai pemberontakan kutil. Ada term kata yang berbunyi “Negeri/Negara Talang”. Yaitu pada saat orang-orang Talang (Kecamatan sekaligus desa tempat tinggal saya.hehehe) ingin mendirikan negara sendiri. Peristiwa ini disebut pemberontakan tiga daerah. Ketika Negara vakum pasca kemerdekaan. Pengadilan rakyatnya disebut Tombreng-tombreng. Yaitu ketika yang berbuat jahat diarak satu kecamatan.

"Mungkin ini Resto Terapung, Atau Rumah di Air. Tidak Tahu Tapi Indah"
"Perahu Manual di Pinggiran Cacaban"
Cacaban syahdu dan mistis . Tentu saja setiap tempat di Jawa tidak bisa dilepaskan dari kisah mistis. Agar Cacaban tidak meminta tumbal manusia, maka setiap tahun di sini diadakan semacam prosesi pelarungan kepala kerbau. Mbah Santi dan Brama Sumandara. Mungkin itu bagian dari wong alus di jawa alias Jin. Konstelasi penunggu laut, pohon, dan ini adalah perairan sepi. Suatu ruang yang sangat diminati oleh makhluk tersebut. Tapi manusia tetap kholifah, wakil dari Tuhan.

"What a Romantic Home: Pengen!"
Sepanjang pamit dan permisi, serta tidak melakukan keburukan yang dapat menyinggung mereka bahkan mendoakan mereka (Jin juga butuh didoakan karena sangat jarang manusia yang mendoakan mereka) maka kita adalah teman dan sahabatnya yang hidup berdampingan. Syirik? Tidak. Dari dulu orang jawa melakukannya bukan menyembahnya. Bagian dari slametan, rasa syukur dan penghormatan terhadap para penjaga alam karena konon Syeh Subakir, Ajisaka tidak bisa sukses di tanah jawa ini kecuali melakukan penghormatan dan fungsi-fungsi kemanusiaan di Tanah Jawa.

Kali ini saya mencoba memotret sudut-sudutnya dengan kamera pocket sederhana dan windows phone teman saya. Kami menyewa perahu sekitar 15 ribu dan mendayung ketengah. Selama 3-4 jam lebih di atas air di waduk itu sekaligus memancing. Banyak sudut yang tidak terjangkau jika tidak pergi ke tengah waduk. Suasananya sangat mengasyikkan dan kontemplatif. Di tengahnya ada pulau yang bernama gendu. Di bagian kanan pulau kita bisa melihat pemandangan yang sangat menakjubkan. Gunung slamet dari tengah danau. Amrazing!

"Bermodalkan Sendal Jepit Hidup Tetap Harus Bahagia"
"Seperti Fujiyama Kan? Hehehe"

Dari windows phone teman:

"Gunung Karo alias Gunung Slamet"
"Clean Sky of Gunung Slamet"

"Going to Sail"

"Dapat Ikan Mujahir"
"Dadah Cacaban, Sampai Jumpa Lagi"

Harapan saya Cacaban jangan dibangun resort apalagi diserahkan ke pengembang karena tempat ini sangat menakjubkan dan sebenarnya sangat menguntungkan di tengah Tegal yang kekurangan ikon pariwisata untuk dapat masuk dalam list lonely planet, naked traveler, komunitas backpacker,dst. Cukup tunggu waktu (entah kapanpun) sampai pemerintah benar-benar diberi hidayah oleh Allah SWT membangun pariwisata yang berkarakter, arif, dan lokal.

No comments

Post a Comment